Sabtu, 10 Maret 2012

Uang vs Kebahagiaan




uang vs kebahagiaan


Belakangan ini, kita merasakan betapa hidup
kita didominasi oleh uang dan harta-benda. Betapa nafsu materialistik mendorong
kita untuk terus mengejar benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk
hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya pemahaman tentang tujuan hidup
dan penciptaan kita, serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara meraih
kebahagiaan hidup kita.





Akibatnya, banyak di antara kita
-manusia-manusia modern, khususnya yang tinggal di kota-kota besar- tidak lagi
hidup sebagai manusia, tetapi lebih tepat disebut sebagai �zombie�. Zombie
adalah manusia yang sebetulnya sudah mati, tapi dapat bergerak ke segala
penjuru, namun tanpa kesadaran. Kita jungkir-balik mengejar uang, untuk membeli
benda-benda, bergegas pergi ke sana ke mari, lupa waktu, lupa keluarga dan
manusia lainnya, akibat kehilangan perspektif tentang tujuan kita mengejarnya.
Padahal, kita tahu, esensi kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada gerakan
fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita. Kesadaran bahwa kita
diciptakan Allah Swt di muka bumi ini bukan sia-sia, melainkan untuk tujuan
yang serius; beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin silaturrahim
�hubungan penuh kasih-sayang-, beramal saleh kepada orang lain
sebanyak-banyaknya, dan menjadikan kehidupan di lingkungan sekitar lebih baik.





Sayangnya yang terjadi adalah sebaiknya. Lewat
berbagai media yang menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita diiming-imingi
dengan kebutuhan-kebutuhan artificial. Yakni �kebutuhan� yang sebenarnya tak
memiliki fungsi untuk menjadikan hidup kita lebih berbahagia. Dahulu, sebelum
datang dan berkuasanya modernisme dan era industri, orang bekerja untuk tujuan
yang jelas; meraih kesejahteraan. Dalam konteks ini, benda dan uang dipahami
sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri. Dengan cara itu, sesungguhnya, pada
masa-masa terdahulu manusia lebih hidup �sebagai manusia�. Meski ilmu pengetahuan
dan teknologi telah berkembang luar biasa pesat di masa-masa sekarang ini,
manusia masa lampau tampak lebih terampil dalam mengatur hidupnya, menjaga
perspektifnya dalam bekerja dan berusaha. Dengan kata lain, mereka lebih
terampil dalam berupaya mencapai kebahagiaan ketimbang manusia-manusia
sekarang. Sekarang, banyak di antara kita yang justru mengorbankan kebahagiaan
demi mengejar uang. Tidak jelas lagi perbedaan antara �tujuan� dan �sarana�
hidup. Sebagai bukti, tak jarang kita melihat seseorang justru mengalami
kehampaan makna hidup setelah mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang
yang berlimpah tidak memberikan kebahagiaan dan makna hidup.





Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana
memaknai uang dengan tepat?





Pertama, Agama tidak anti kepada orang yang
mencari uang, tidak anti pula pada upaya-upaya mencari karunia Allah Swt.
Bahkan dalam Al-Quran disebutkan, �Carilah kebahagiaan hidup di akhirat itu
dengan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dan jangan lupakan porsimu dari
kehidupan dunia.� (QS. Al-Qashash: 77). Yang penting, kita senantiasa dapat
memelihara agar tetap memiliki perspektif yang benar sehubungan dengan
kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali lagi, adalah sarana, bukan
tujuan hidup itu sendiri. Dengan perspektif yang lurus seperti ini, tak ada
orang yang mau mengorbankan kebahagiaannya, tujuan hidupnya, demi mengejar
uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi upaya mendapatkan kebahagiaan hidup.





Kedua, Kita juga perlu meluruskan prioritas,
bahwa tugas hidup adalah beribadah kepada-Nya, dengan jalan menebarkan rahmat
bagi alam semesta. Bahkan, sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini.
Manusia telah diciptakan Allah dengan fitrah mencinta. Kebahagiaan dan kepuasan
hidup tak akan pernah bisa diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan
fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang lain. Uang atau harta
benda yang kita miliki hanyalah sarana pendukung untuk kita menyelenggarakan
upaya-upaya seperti ini.





Ketiga, Kita perlu membangun dan memelihara
kesadaran bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada banyaknya
uang dan harta benda, melainkan pada bagaimana kita memandang fungsi dan cara
menggunakannya. Yaitu dengan mensyukuri, memanfaatkan untuk hal-hal yang halal
dan baik, menghindarkan diri dari gaya hidup berlebihan, serta menggunakan
kelebihan rizki yang kita miliki untuk berbuat baik kepada orang lain. Hanya
dengan itu kita akan mendapat kebahagiaan, termasuk kebahagiaan di dunia ini,
dan pada saat kita dibangkitkan kelak.





Jangan sampai, seperti kisah Pedang Damocles
dalam mitologi Yunani, bukannya bermanfaat untuk membunuh musuh dalam
peperangan, ia bergerak sendiri dan menusuk pemiliknya. Jangan sampai uang,
yang seharusnya membantu kita dalam mendapatkan kebahgiaan, malah menjadikan
kita egois, berbangga hati sambil melecehkan orang lain, merusak kedamaian
keluarga, memutuskan silaturrahim, dan berbagai ekses merusak lainnya. Wallahu
a�lam bi ash-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar