Selasa, 06 Maret 2012

Kisah Seorang Anak Kecil dan Pohon Apel [motivasi]




anak kecil dan pohon apel


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel
besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap
hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat
mencintai pohon apel itu. Demikian pula sebaliknya. Waktu terus berlalu, anak
lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon
apel itu setiap harinya.





Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya
tampak sedih.


"Ayo ke sini bermain-main lagi
denganku.", pinta pohon apel itu.


"Aku bukan anak kecil yang bermain-main
dengan pohon lagi.", jawab anak lelaki itu.


"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi
aku tak punya uang untuk membelinya."


Pohon apel itu menyahut,


"Duh, maaf aku pun tak punya uang, tetapi
kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang
untuk membeli mainan kegemaranmu."


Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik
semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun,
setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.





Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon
apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku
lagi.", kata pohon apel.


"Aku tak punya waktu,", jawab anak
lelaki itu.


"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?".


"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah,
tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu.",
kata pohon apel.


Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan
dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa
bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali
lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.








Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang
lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.


"Ayo bermain-main lagi denganku.",
kata pohon apel.


"Aku sedih.", kata anak lelaki itu.


"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang.
Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal
untuk pesiar?"


"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau
boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau
mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."


Kemudian, anak lelaki itu memotong batang
pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan
tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.





Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah
bertahun-tahun kemudian.


"Maaf anakku", kata pohon apel itu.


"Aku sudah tak memiliki buah apel lagi
untukmu."


"Tak apa, aku pun sudah tak memiliki gigi
untuk mengigit buah apelmu.", jawab anak lelaki itu.


"Aku juga tak memiliki batang dan dahan
yang bisa kau panjat.", kata pohon apel.


"Sekarang aku juga sudah terlalu tua
untuk itu.", jawab anak lelaki itu.


"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa
lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah
tua dan sekarat ini.", kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.


"Aku tak memerlukan apa-apa lagi
sekarang,", kata anak lelaki.


"Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."


"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau,
akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat.
Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan
tenang."


Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar
pohon. Pohon apel itu pun sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air
matanya.





Pohon apel itu adalah orang tua kita.


Ketika kita muda, kita senang bermain-main
dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka,
dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak
peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa
yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir
bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi
begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar